Tertanggal 2 Mei 1964 menetapkan 21
April 1879 sebagai hari lahir Kartini. Kemudian, sampai sekarang, tanggal
tersebut kita peringati sebagai hari Kartini. Raden Ajeng Kartini adalah salah
satu dari sekian banyak pejuang gerakan reformasi pemikiran, pejuang gerakan
emansipasi, dan sekaligus pelopor kebangkitan kaum perempuan . Ketika itu, mindset yang berkembang di
masyarakat adalah perempuan hanya sebagai kaum terbelakang yang tidak punya
kekuatan untuk maju.
Di dalam bukunya, Habis Gelap Terbitlah Terang,
Kartini menjelaskan cita-cita dan gugatannya terhadap diskriminasi kaum
perempuan. Membaca
buku ini membantu kita memahami betapa diskriminasi yang dilakukan terhadap
kaum perempuan masa lalu adalah sebuah refleksi bagi kaum perempuan masa kini.Kartini pun menjadi motivasi bagi perempuan
Indonesia.
Fenomena Kartini pada zaman sekarang memang
sangat menajubkan. Apa maksud dari menajubkan ??? maksud dari menakjubkan
adalah karena Kartini masa kini bukanlah kartini yang dulu Kartini yang
sekaarang berkarakterkan negative. Tapi, tidak semua Kartini zaman sekarang
berkarakter negative , dalam tanda kutip yang lain kartini zaman sekarag
yang berkarakter negative kita anggap angin lalu. Sudah ter tulis jelas
pada paragraph ke-2 kita bisa lihat bagaimana gambaran dan angan Kartini pada
masa sekarang dalam bentuk negative, kita ambil contoh kecil Kartini pada masa
sekarang dalam berpakain, apalagi yang muslim tak sedap di pandang mata jika
bercelana diatas lutut dan hanya memakai pakaian tanpa lengan, dan anehnyha
lagi mereka tidak merasa malu. Dalam contoh besar kita bisa ambil
pelajaryang hamil terlebih dahulu sebelum menjalani prose pernikahan. Dalam
contoh besar mungkin mereka baru mersakan jera bahkan ada yang tidak merasakan
jera. Dalam Kartini masa sekarang yang berkarakter negative tidak bisa kita
anggap sebagai Kartini.
Masih tersangkut paut dengan paragraph ke-2
tak semua kartini zaman sekarang bersifat atau berkarater negative banyak
Kartini – Kartini zaman sekarang yang mengharumkan Bangsa Indonesia (dalam
contoh besar) dan bangga terhadap diri sendiri (dalam contoh kecil). Dalam
contoh besar adalah seorang putrid yang memiliki kebutuhan khusu (cacat) dia
menjadi atlet dan dia dikirim ke Eropa untuk membawa api unggun dalam ajang
pesta olah raga Eropa pada tahun 2012 ini . Dalam contoh kecil, jika pembaca
ingat tentang sebuah buku atau film yang berjudul Surat Kecil Untuk Tuhan pasti
pembaca tahu yang namanya Gita Shesa Wanda Cantika dia mengidap penyakit
Rabdomiosarcoma (Kanker Jaringan Lunak) yang tergolong kanker ganas pertama di
Indonesia, Gita bertahan hidup selama 2 tahun, dokter mengatakan bahwa gita
adalah gadis kecil yang hebat mampu melawan penyakit yang sedemikian rupa
mematikanya dalam kurun waktu 2 tahun (2004 – 2006). Itulah Kartini zaman
sekarang yang patut diakui jempol
Maka kita bisa ambil kesimpulan, bahwa
Kartini zaman sekarang lebih dominang dengan karekter yang negative, tetapi
dalam karakter yang negative terdapat pula karfakter yang positif yang patut
dicontoh oleh Kartini – Kartini generasi selanjutnya.
Respon Untuk “R A Kartini Jaman Sekarang”
bukannya aku tak suka akan adanya emansipasi seperti yg di
gagasnya….tapi apa yg terjadi dizaman ini…sudah amat parah kulihat wanita
disanasini berkelakuan mengatasnamakan emansipasi…dan karena kata2 emansipasi
itu negara ini jd begini…seperti yg kudengar semalam ada istilah logika
terbalik…yah itulah wanita yg kulihat saat ini..didepan mataku dan kumerasakan
itu…
Hari ini, jika Kartini "melihat" kehidupan perempuan
Indonesia, mungkin ia akan menulis sebuah tulisan dengan judul "Kapan
Habis Gelap Terbitlah Terang akan Terwujud"
Perempuan Masa Kini
Mirisnya nasib perempuan pada masa lalu
seharusnya bisa dijadikan pelajaran penting bagi perempuan era modern sekarang
ini, sudah seharusnya lah perempuan pada masa sekarang ini tidak lupa pada
sejarah perjuangan Kartini
Meskipun sudah bebas dari belenggu
patriarkhi dan sudah mulai mendapat haknya baik dalam pendidikan, sosial dan
budaya tapi tidak menutup kemungkinan masih ada sebagian perempuan yang belum
mendapatkan haknya
Persoalan kekerasan, trafficking,
pelecehan seksual dominasi laki-laki atas perempuan masih akan kita temui pada
era masa kini, pada sektor kehidupan perempuan kadang masih harus menanggung
beban kerja ganda (double burden)
Satu sisi mereka harus berperan aktif di
sektor domestik disisi lain sektor publik juga menjadi tuntutan mereka,
pemerataan terhadap pendidikan, akses yang sama pada sektor publik masih
menjadi tuntutan yang belum maksimal terpenuhi bagi perempuan pada era masa
kini.
Hasilnya bisa kita lihat bahwa perjuangan
perempuan untuk hidup equal (sama)
dengan laki-laki masih jauh dari harapan yang di idam-idamkan.
Maka pantaslah posisi perempuan dalam
kajian era modern sekarang ini menjadi sorotan dari berbagai kalangan, baik
akademisi maupun masyarakat dalam berbagai persepsi dan respon yang
berbeda.
Khususnya perempuan modern, perempuan itu
sosok universal yang selalu menarik diperbincangkan kapan dan di mana pun.
Lebih-lebih setelah banyak kaum perempuan yang terjun ke sektor publik.
Muncul opini, perempuan sekarang ini
berupaya melakukan pembebasan “mitos” kaum hawa yang bertahun-tahun lamanya
merasa terpenjara akibat kultur patriarkhi yang demikian kuat mengakar di
tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Dalam buku “Door Duisternis tot Licht”
tersirat bhwa R.A Kartini menjadi inspirasi bagi gerakan emansipasi perempuan
dari segala penindasan terutama hegemoni budaya yang cenderung patriarkhi.
Seiring dengan perkembangan peradaban yang
terus bergerak pada ranah global dan mondial, peran kaum perempuan semacam itu
agaknya sudah jauh mengalami pergeseran.
Asumsi ini diperkuat dengan gencarnya
perjuangan kaum perempuan dalam upaya melakukan pembebasan “mitos” lama yang
selama ini dinilai telah amat merugikan jagat kaum perempuan.
Bahkan, perempuan modern saat ini sudah
banyak yang mulai mendidik anak-anaknya dengan norma androgini,
yakni norma lelaki dan perempuan yang memberikan kesempatan kepada anak untuk
mengembangkan hal-hal lain pada dirinya, tanpa dibatasi stereotipe peran yang
berlaku.
Melalui norma ini, anak laki-laki bisa
mengekspresikan kelembutan dan anak perempuan bisa mengekspresikan keberanian.
Agaknya, pandangan feodalistik yang
cenderung memosisikan kaum perempuan di bawah subordinasi kaum lelaki semakin
terkikis. Sudah bukan zamannya lagi seorang istri hanya hanya menunggu
kepulangan sang suami sekadar ingin melolos sepatu atau dasi yang diyakini
sebagai simbol kesetiaan.
Memang harus diakui, pandangan feodalistik
semacam itu tidak selamanya negatif. Setidaknya, nilai etika, kesetiaan,
kelembutan, dan keharmonisan merupakan nilai positif yang terpancar dari sosok
perempuan sebagaimana tergambar dalam Serat Centhini.
Dalam konteks demikian, perempuan modern,
seringkali dihadapkan pada situasi dilematis, antara mengikuti arus modernisasi
dengan segenap dinamikanya; atau tetap menjadi sosok perempuan yang sarat
sentuhan nilai tradisi; lembut, serba mengalah, sendika dhawuh, dan pasrah.
Meminjam istilah Emile Durkheim, kaum
perempuan, sedang berada dalam kondisi anomie;
masih menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap budaya, tetapi gaya hidupnya
sudah universal dan modern.
Tampaknya, kaum perempuan memang harus
mencermati secara serius terhadap kondisi anomie yang
mau atau tidak, mesti dilaluinya.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
bagaimana mewujudkan sosok perempuan yang tidak kehilangan identitasnya atau
jatidiri di tengah-tengah kuatnya arus transformasi budaya di era modern?
Pertanyaan semacam itulah yang butuh
jawaban serius. Artinya, di tengah fenomena pergeseran peran dari mono-peran ke dwi-peran,
kaum perempuan modern tidak mengalami “keterkejutan” budaya yang justru akan
makin menjauhkan figur perempuan modern dari sentuhan nilai ideal secara
normatif sebagai kunci sukses hidup berumah tangga.
Mitos kanca
wingking memang harus dibebaskan.
Kaum perempuan dituntut untuk bisa tampil mandiri, dinamis, kreatif, penuh
inisiatif, dan profesional dalam mengambil perannya di sektor publik.
Meski demikian, bukan berarti harus
meninggalkan “naluri” keibuan yang penuh sentuhan perhatian dan kasih sayang
terhadap anak dan suami, lembut, hormat, etis, dan bermartabat tinggi.
Tetapi lebih menunjukkan kiprah perempuan
yang bisa memberikan partisipasi dan ikut andil dalam pembangunan di sektor
publik, maka tidak zamannya lagi sekarang perempuan selalu berada dibawah
subordinasi laki-laki, tapi bagaimana perannya dalam peningkatan kompetensi SDM
serta kompetisi yang sehat bersama laki-laki sebagai wujud dari kontribusinya
di ranah publik.
Ikut berpartisipasinya perempuan untuk
berperan dikalangan publik harus dihargai, karena mereka juga memiliki hak yang
sama untuk memperoleh kedudukan akses dan pemerataan yang sama dimata publik,
yang masih perlu dipikirkan ialah kapabilitas dan kemampuan yang mereka miliki
semua perempuan bisa berpartisipasi di
ranah publik, dalam kacamata sosial tidak ada pembatasan yang membelenggu, era
modern sekarang ini harus dijadikan lahan pembebasan sepenuhnya atau menjadi
lahan yang sebebas-bebasnya bagi pergerakan perempuan tetapi jangan lupa adanya
keterikatan aturan serta norma sosial serta hak dan kewajibannya sebagai
seorang perempuan
kebebasan yang diharapkan dari adanya
perjuangan perempuan era sekarang ini adalah pengakuan yang sama dimata
laki-laki bahwa mereka mampu, mereka bisa dan mereka tidak bisa dipandang
sebelah mata.
Kartini masa kini adalah sosok kartini yang
bisa memberikan inspirasi bagi lingkungan sekitarnya, bertanggung jawab,
berdikari tinggi untuk selalu berusaha mewujudkan persamaan hak perempuan baik
di sektor publik maupun sektor domestik.
Kartini sekarang ini sudah sangat jauh
berbeda dengan kartini pada masa lalu, yang menjadikannya selalu eksis hingga
saat ini adalah perjuangan yang selalu ada untuk bisa meraih cita dan asa dalam
kehidupan yang lebihegaliter.
Seandainya kartini lahir di tahun 2011,
apakah beliau mampu menelorkan sejarah tentang perlawanan via teks dan
intelektualitasnya lewat kumpulan catatan bertajuk Habis Gelap
Terbitlah Terang?
Pertanyaan ini berawal ketika setiap
menjelang peringatan Hari Kartini, 21 april, wacana selalu saja berkubang dalam
perspektif perubahan kultur wanita masa kini yang kerap diidentifikasikan sudah
melenceng dari apa yang Kartini ajarkan.
Kartini dalam beberapa tulisannya kerap
mengejawantahkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pada era kekinian,
permasalahan tersebut—meskipun sudah bukan menjadi masalah yang bersifat
masif–tetap saja menjadi sasaran wacana publik.
Permasalahan perempuan Indonesia mutakhir,
sejatinya tidak lagi mengacu pada gender policy, melainkan lebih pada substansi
mindset dalam memandang kehidupan global.
Ejawantah seorang Kartini yang notabene
perempuan Jawa yang ngalah terhadap adat. Perempuan harus taat
terhadap adat meskipun bertentangan dengan kesetaraan gender. Kartini menolak keras.
Dalam salah satu kutipannya Kartini juga
menyampaikan “cubitan halus” lewat pernyataan, alangkah senangnya laki-laki,
bila istrinya tidak hanya menjadi pengurus rumah tangganya dan ibu
anak-anaknya, melainkan juga jadi sahabatnya, yang menaruh minat akan
pekerjaanya, menghayatinya bersama suaminya”[Kartini, 4 oktober 1902]. Meski
perempuan setara dengan laki-laki, tetap saja tak boleh melupakan peran
sosialnya.
Perempuan harus mampu menyeimbangkan peran
sebagai istri yang tak sekedar masak, macak, manak, melainkan mampu
berpikir setara dengan menghayatinya bersama suami. Kartini, sebagai perempuan
Jawa dengan ciri khas sanggul—bentuk rambut yang dibuat menggrumbul dibagian
belakang kepala namun tertata rapi dan dilengkapi tusuk konde—mempunyai makna psikis
yang kental. Sanggul digambarkan sebagai deskripsi cara berpikir yang
hati-hati, tidak clingukan, cerdas, menjunjung tinggi adat, serta menjadi
simbolisasi mahkota dari seorang perempuan.
Senyum tipis lamat-lamat yang dipamerkan
dalam setiap lukisannya, memberi makna, perempuan mempunyai pembawaan tenang,
lembut, namun tegas. Dari ikon kesempurnaan yang terlanjurkan pada sosok
Kartini inilah krisis perempuan berawal. Kultus Kartini era mutakhir memang
bergeser. Kartini tidaklah dipandang sebagai pahlawan emansipasi semata, namun
mengarah pada standar perempuan yang “baik”. Sosok perempuan sejati.
Hal ini tentunya menyebabkan distransisi
nilai moral-histori dan kenyataan kekinian. Kartini tidaklah lahir pada era
lipstik berbahan baku emas, pergulatan di atas tahta kekuasaan, pergaulan
ala Tomb Raider atau pun Charlies Angel, juga
perempuan pada titik intelektual dan lintas peran. Perempuan Indonesia mutakhir
adalah sebuah peran sosial-kodrati yang mampu menempatkan sisi modernitas
secara global.
Kartini menjadi kultus, didewa-dewakan,
yang tidak selidah-seiya dengan ajarannya berarti melenceng, yang apa-apanya
harus ditakar dari kaca mata seorang Kartini. Sejarah selalu meninggalkan pesan
yang bersifat memaksa dan membebani peran yang sudah pasti beda masa dan
jamannya.
Kartini hidup dalam keterbungkaman, adat
dan tradisi yang galak. Perempuan era kini ialah berdiri diantara nilai
tehnologi, globalisasi, yang secara struktural dan anatominya terkontaminasi
menjadi pemikiran manusia modern.
Tidak bisa disalahkan, mindset perempuan
Indonesia modern tak lagi diukur dari kapasitas seorang pahlawan emansipasi.
Memaknai Kartini di era Indonesia modern tidaklah pada baju adat yang sengaja
diadatkan lewat karnaval atau model busana di atas cat walk. Bukan
pula semacam style sanggul yang patut ditiru dan dielu-elukan. Kultus Kartini
hari ini musti bersifat kualitas, bukan entitas.
Kita wajib bersyukur atas jasa Kartini.
Memaknai segala pemikiran yang mampu menembus waktu dan zaman. Kartini
mengabadi lewat pemikiran yang subversif, resisten, serta penuh penolakan.
Kartini tidak lahir di abad 21. Abad di mana perempuan adalah mahluk
sosio-kultural yang mampu berpijak pada nilai global. High heel dalam
geliat modernisasi serta pergeseran peran secara sosial, intelektualitas.
Dan ketika Kartini dan sanggulnya yang
mulai berdebu menyeruak dalam wacana Hari Kartini, perempuan Indonesia mutakhir
tetaplah pada tendesi untuk perubahan. Meninggalkan Kartini pada zamannya,
untuk segera beralih menjadi Kartini modern dalam tatanan sosio-kultural serta
mampu berpikir think global act local. Not
just sanggul dan kebaya. Dan mungkin akan semakin ekstrim, dengan
melepas sanggul dan menggantinya dengan model atas daya cipta sendiri.
Perempuan Indonesia mutakhir mulai menulis
jalan hidup, profesi, serta pemikiran yang lebih modern. Meninggalkan kultus
entitas Kartini semata, yang sudah puluhan tahun silam dan tak perlu untuk
ditiru ataupun diulang-ulang. Mencipta sebuah wajah. Wajah baru perempuan
indonesia modern yang mengacu kualitas Kartini, sekali lagi, bukan entitas
semata. Sekian dan terima kasih ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar