BATIK
Seni pewarnaan kain dengan teknik
pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno.
Penemuan di Mesir
menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan
diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa
batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti
T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode
Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku
Soninke dan Wolof
di Senegal.[2].
Di Indonesia,
batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer
akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik
tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang
Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.[3]
Walaupun kata "batik" berasal dari
bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer
berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka
pada abad ke-6 atau ke-7. [2]Di
sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto
(arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah
seperti Toraja, Flores, Halmahera,
dan Papua. Perlu
dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme
tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat batik.[4]G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.[4] Detil ukiran kain yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita, arca dewi kebijaksanaan buddhis dari Jawa Timur abad ke-13. Detil pakaian menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa yang dapat ditemukan kini. Hal ini menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat dengan canting telah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau bahkan lebih awal.
Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari
Batik Belanda merupakan jenis batik yang tumbuh dan berkembang antara 1840 – 1940. Kebanyakan dibuat di daerah pesisir,seperti Pekalongan,dengan pasar masyarakat Belanda dan Indo-Belanda. Kebanyakan berbentuk sarung,batik Belanda tampil dalam pola dan motif yang khas. Umumnya masuk pola buketan,dalam paduan aneka bunga yang dirangkai,dengan imbuhan ragam hias burung (terutama bangau,angsa,burung-burung kecil dan kupu-kupu), dalam warna cerah sesuai selera masyarakat Eropa.
Berbeda dari motif batik Indonesia lainnya yang umumnya diungkap dalam bentuk stilasi,motif pada batik Belanda hadir dalam bentuk nyata : Bunga,satwa,pesawat terbang,prajurit berbaris memanggul senjata,dan sebagainya. Bahkan banyak wastra batik Belanda yang menampilkan fragmen gambar dari dongeng-dongeng eropa seperti si Kopiah Merah,Putih Salju dan Hanzel dan Gretel. Beberapa wastra menghadirkan pengaruh budaya Cina,seperti pola Dewi Hsi Wang Mu,pola wayang bahkan adegan sirkus.
Dari sekedar memesan wastra batik kepada para perajin atau saudagar yang ada, belakangan batik Belanda dibuat sendiri oleh kalangan Belanda di Indonesia. Iwan Tirta dalam buku Batik, Sebuah Lakon,maupun Santosa H.Dullah dalam buku batik,”Pengaruh Zaman dan Lingkungan” menyebut Carolina Josephina von Franquemont sebagai pelopornya,yang mendirikan perusahaan batik di Surabaya tahun 1840 yang kemudian memindahkan usahanya ke Semarang. Ia terkenal dengan penemuan warna hijau dari zat warna nabati yang tahan luntur,zat yang kemudian dikenal sebagai hijau franquemont.
Iwan maupun Santosa juga menyebut pelopor lainnya,yakni Catharina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar